A.
Demografi
Secara resmi RRC memandang dirinya sendiri
sebagai bangsa multi-etnis dengan 56 etnisitas yang diakui. Mayoritas etnis Han
menyusun hampir 93% populasi; bagaimanapun merupakan mayoritas dalam hanya
hampir setengah daerah Cina. Penduduk bangsa Han sendiri heterogen, dan bisa
dianggap sebagai kumpulan pelbagai etnik yang mengamalkan budaya dan bercakap
bahasa yang sama. Kebanyakan suku Han bertutur macam-macam bahasa Cina yang
diucapkan, yang bisa dilihat sebagai 1 bahasa atau keluarga bahasa. Subdivisi
terbesar bahasa Cina yang diucapkan ialah bahasa Mandarin, dengan lebih banyak
pembicara daripada bahasa lainnya di dunia. Versi standar Mandarin yang
didasarkan pada dialek Beijing, dikenal sebagai Putonghua, diajarkan di sekolah
dan digunakan sebagai bahasa resmi di seluruh negara.
Revolusi Komunis di negara ini sejak tahun
1949 meninggalkan kesan yang besar yaitu hampir 59% penduduknya (lebih kurang
767 juta orang) menjadi Ateis atau tidak percaya Tuhan. Namun lebih kurang 33%
dari mereka percaya kepada kepercayaan tradisi atau gabungan kepercayaan Buddha
dan Taoisme. Penganut agama terbesar di negara ini ialah Buddha Mahayana yang
berjumlah 100 juta orang. Di samping itu, Buddha Therawada dan Buddha Tibet
juga diamalkan oleh golongan minoritas etnis di perbatasan barat laut negara
ini. Selain itu diperkirakan terdapat 18 juta penduduk Islam (kebanyakan Sunni)
dan 14 juta Kristen (4 juta Katolik dan 10 juta Protestan) di negara ini.
B.
Pemerintahan
Dalam pemikiran Cina tradisional, jika pemerintah baru
bertahan dalam kekuatannya, ia harus dapat membuktikan amanat dari surga untuk
menjadi kaisar baru. Menurut filsuf dari orang-orang Tao, dulunya dinasti hanya
dapat dibuktikan jika memiliki “mandat dari surga”, dan juga dipercaya dimana
mandat dari dinasti tertentu telah dikeluarkan, hal tersebut akan mengalah pada
pemberontak atau pemberontak istana. Di dalam pemikiran tradisional orang-orang
Cina, kerajaan yang sesungguhnya hanya ada di surga, tetapi tetap yang
melaksananakannya adalah orang-orang di dunia. Efek dari filosofi politik
orang-orang Tao adalah sederhana dan praktis: setiap orang boleh mencoba
keberuntungannya dengan pemberontakan jika dia sangat mengharapkannya. Apabila
pemberontakannya gagal, kemudian yang membuat suatu percobaan dengan jelas tidak
memiliki “mandat dari surga” dan biasanya mereka dieksekusi. Bagaimanapun,
seorang pemberontak yang berhasil diambil sebagai bukti bahwa mandat dari surga
benar-benar ada. Hal ini semata-mata hanyalah nyanyian kesuksesan saja. Setiap
orang dapat menjadi seorang kaisar sepanjang ia dapat mengumpulkan kekuatannya.
Bagi Cina, the family was the state in miniature, the
state the family writ large. Itu sebabnya Max Weber menyebut Cina sebagai
“familistic state”. Penulis melihat bahwa dinasti Han yang lebih setia pada
ajaran Konfusius. Menurut penulis artikel ini, akibat dari paham keluarga Cina
yang ditafsirkan secara berbeda (salah) dengan apa yang dianjurkan oleh
Konfuisus tentang sistem keluarga 3 generasi, Cina pernah mengalami krisis
karena memberlakukan sistem three tyrannies (ruler, the father, and the
husband). Three Tyrannies kemudian berkembang menjadi the three bonds (dalam
bahasa Cina, sangang). The three bonds terdiri dari: relasi rulers-ministers;
fathers-sons; and husbands-wifes. Tetapi rupanya paham ini berkembang lagi
menjadi the three accordances atau three services: minister melayani ruler,
anak melayani bapaknya, dan istri melayani suaminya (jadi tidak resiprokal,
hanya pelayanan searah saja!). para pengagum three services, menganggap ini
sumber dari segala keteratutan. Secara defacto, Paham three services masih
sejalan dengan sistem tradisional Cina yang menekankan filial obligation dan
filial piety.
Sistem three services tidak bersifat resiprokal
sebagaimana yang diajarkan oleh Mencius (salah seorang murid Konfuisus).
Mencius mengatakan: jika seorang pangeran merawat para pembantunya seperti
tangan dan kakinya, mereka (para pembantunya) akan merawat pangeran itu seperti
perut dan hati mereka. Jika pangeran merawat para pembantunya seperti kuda dan
anjingnya, mereka akan merawatnya seperti seorang yang gila. Dan, jika seorang
pangeran melihat para pembantunya seperti lumpur dan rerumputan, mereka juga
akan melihat pangeran itu seperti seorang lawan.
Menurut Mencius, Konfusius mengajarkan bahwa keteraturan
sosio-politik terjadi ketika ruler berkelakuan seperti ruler, minister
berkelakuan seperti minister, dan father berkelakukan seperti father dan son
berkelakukan seperti son; menurut Konfusius, hal ini yang ia sebut sebagai
sumber knowledge, etika. Konfusian dari suku Han melihat bahwa Yin-Yang
mengandung sistem resiprokal. Yin diidentikkan dengan minister, son and wife
sedangkan Yang diidentikkan dengan ruler, father, husband. Oleh karena itu,
three bonds bagi suku Han harus dilihat seperti relasi Yin-Yang.
Melihat uraian di atas, jelas bahwa Konfusius menolak
sistem otoriter. Konfusius memberi tekanan pada saling adanya relasi secara
etika dan bukan pada control kekuasaan yang otoriter. Seorang murid Konfusius,
Xunzi mengatakan bahwa jika setiap orang bersikap hormat, tertib, tanpa cela,
menghargai orang lain, saat itulah terjadi bahwa setiap orang bersaudara. Dalam
sistem reciprocity, sistem absolut tidak berlaku. Karena dalam sistem
reciprocity yang ditekankan adalah fleksibilitas, keutamaan (virtue). Dan, kekuatan
relasi yang cocok dalam KBE tidak terletak dalam sistem kekuasaan absolut
(husband, father, and ruler) melainkan pada authority yang membangun
pengetahuan etika.
C.
Bentuk
pemerintahan
Sistem pemerintahan yang digunakan ketika keakaisan Cina
kuno masih berkuasa adalah sistem pemerintahan yang sentralistik. Sistem
sentralistik ini bisa disetarakan dengan sikap absolutisme monarki. Sehingga
dalam pelaksananany timbullah istilah “semua tanah adalah tanah raja dan semua
orang adalah milik raja”.
Dalam pelaksanan pemerintahn raja juga membagi
tugas-tugas bawahan. Pada masa kekaisaran kaisar terdapat enam orang bawahan.
Enam orang bawahan inilah yang akan melaksanakan perintah raja. Enam orang itu
memiliki tugas: menteri surga, pembuat kebijakan; menteri bumi, menteri
berkenaan dengan pendidikan; menteri musim semi, menteri berkenaan dengan
pengadilan agama; menteri musim panas, meneteri berkenaan dengan administrasi
keseharian; menteri menteri musim gugur, menteri berkenan dengan penjatuhan
hukuman; menteri musim dingin, menteri yang berkenaan dengan logistik negara,
termasuk pembiayaan proyek besar. Tiap menteri memiliki staff ratusan dari
bagian-bagian. Kaisar jug amengontrol enam kekuatan militer, setiap regional
memiliki tiga, dua atu satu yang disesuaikan dengan wilayah.
D.
Ekonomi
Ekonomi Cina dibangun berdasarkan ekonomi agrarian.
Ekonomi agrarioa yang memiliki system feodalistik. Sistem bahwa penguasaan
tanah memiliki peranan penting.
Pentingnya pertanian bagi Cina telah membawa perubahan pada
sisitem teknologi pertanian juga. Sisitem pertanian yang diterapkan Cina pada
waktu itu telah mengenal adanya sistem irigasi, rotasi tanaman pertanian, dan
penggunaan hewan sebagai alat pertanian.
Cina juga tidak tergantung pada pertanian saja, namun telah
mengembangkan hasil peternakan. Peternakan yang berkemabng dicina meliputi
peternakan domba, kambing dan sapi. Selain adanya binatang ternak setiap
penduduk juga memilki hewan untuk dipelihara, seperti lembu janta, babi dan
ayam. Perekonomian Cina juag dibantu dengan adanya perburuan yang dilakukan
penduduk.
Tidak hanya pertanian, Cina juga mengembangkan sistem
perdagangan dengan dunia luar. Cina telah menjalin hubungan dagang pertama kali
dengan melakuakn transaksi di sekitar Cina bagian utara dan laut Cina selatan.
Perdagang yang dilakuakn berupa perdagangan besi, timah, cangkang penyu, dan
produk kerajinan tangan. Dengan adanya perdagangan maka terjadilah pekembangan
teknologi peleburan besi, munculnya kota-kota dagang, dan penggunaan uang.
Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Cina
antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak
komunis menguasai Cina Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan beberapa
pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan
Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis.
Para pendukung Era Maoisme, yang terdiri dari
kebanyakan rakyat Cina miskin dan lebih tradisionil atau nasionalis dan
pemerhati asing yang percaya kepada komunisme, mengatakan bahwa di bawah Mao,
persatuan dan kedaulatan Cina dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam
beberapa dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri,
kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan
standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke
Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Cina dan
menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik
dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya
yang disebabkan kampanye Mao.
Meskipun begitu, para kritikus rezim Mao,
yang terdiri dari mayoritas analis asing dan para peninjau serta beberapa
rakyat Cina, khususnya para anggota kelas menengah dan penduduk kota yang lebih
terbuka pemikirannya, mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan pengawasan
yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye
seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau
mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan
merusak warisan budaya Cina. Lompatan Jauh ke Depan, pada khusunya, mendahului
periode kelaparan yang besar di Cina yang, menurut sumber-sumber Barat dan
Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 20-30 juta orang; kebanyakan
analis Barat dan Cina mengatakan ini disebabkan Lompatan Jauh ke Depan namun
Mao dan lainnya mengatakan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan
angka kematian tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena
kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek.
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada
awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua umum Cina. Kongres
Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi
ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan
lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi
keuangan.
Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi
Kebudayaan, yang dilihat lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina
kala itu) sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para
remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak
pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan
demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan
pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina. Kekacauan pun timbul namun hal ini
segera berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan moderat
kembali memperoleh pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping berhasil
memperoleh kekuasaan dan janda Mao, Jiang Qing beserta rekan-rekannya, Kelompok
Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan negara, ditangkap dan dibawa ke
pengadilan.
Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara
bertahap (dan telah banyak) melunakkan kontrol pemerintah terhadap kehidupan
sehari-hari rakyatnya, dan telah memulai perpindahan ekonomi Cina menuju sistem
berbasiskan pasar.
Para pendukung reformasi keuangan – biasanya
rakyat kelas menengah dan pemerhati Barat berhaluan kiri-tengah dan kanan –
menunjukkan bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor konsumen
dan ekspor, terciptanya kelas menengah (khususnya di kota pesisir di mana
sebagian besar perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15% dari
populasi, standar hidup yang kian tinggi (diperlihatkan melalui peningkatan
pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur, persentase
baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan pribadi yang lebih
luas untuk masyarakat biasa.
Para pengkritik reformasi ekonomi – biasanya
masyarakat miskin di Cina dan pemerhati Barat berhaluan kiri, menunjukkan bukti
bahwa proses reformasi telah menciptakan kesenjangan kekayaan, polusi
lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi, pengangguran yang meningkat akibat PHK
di perusahaan negara yang tidak efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh
budaya yang kurang diterima. Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Cina telah
dikorupsi, rakyat miskin semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial
negara semakin terancam.
Meskipun ada kelonggaran terhadap
kapitalisme, Partai Komunis Cina tetap berkuasa dan telah mempertahankan
kebijakan yang mengekang terhadap kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya,
seperti Falun Gong dan gerakan separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini –
biasanya penduduk pedesaan dan mayoritas kecil penduduk perkotaan, menyatakan
bahwa kebijakan ini menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah
oleh perbedaan kelas dan permusuhan, yang tidak mempunyai sejarah partisipasi
publik, dan hukum yang terbatas. Para pengkritik – umumnya minoritas dari
rakyat Cina, para rakyat pelarian Cina di luar negeri, penduduk Taiwan dan Hong
Kong, etnis minoritas seperti bangsa Tibet dan pihak Barat, mengatakan bahwa
kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas internasional,
dan mereka juga mengklaim hal tersebut mengakibatkan terciptanya sebuah negara
polisi, yang menimbulkan rasa takut.
E.
Pemikiran Mao Tse-tung
saat Memimpin Cina
Dalam pleno ke-10 Committee Central Partai Komunis Cina
(Chung Kang Tang), Mao mengatakan, “Untuk menjatuhkan kekuatan politik, selalu
mutlak perlu pertama-tama menciptakan pendapat umum (yang menguntungkan), dan
menjalankan pekerjaan (persiapan) di bidang ideology.” Dari apa yang
dikatakannya ini, Mao terlihat mengedepankan persoalan ideologi guna menanamkan
pengaruh politiknya. Mao memang seorang pemikir politik Cina yang serba
lengkap, setidaknya menurut pendapat Dick Wilson dalam bukunya Mao Tse-tung in
the Scales of History yang mennyebut Mao sebagai ahli filsafat, ideolog Marxis,
pemimpin politik, ahli militer, guru, ahli ekonomi, patriot, negarawan, the
Chinese (orang Cina), dan pembaharu. Sebutan yang ditimpakan kepada Mao ini
mengindikasikan bahwa Mao memiliki kekuatan di dalam pemikiran atau ide, yang
dalam ini coba ia terapkan di dalam kehidupan bernegara Cina.
Cina pada saat Mao selaku pemimpin partai Komunis
memegang tampuk pemerintahan sesudah melalui pertempuran sengit selama tiga
puluh delapan tahun, hampir sebuah Cina yang sudah tercabik-cabik,
compang-camping, miskin papa dan tradisional dan terbelakang dan buta huruf,
sehingga tampaknya karier gelap membayangi Mao dengan pelbagai rupa rintangan
dan jalan akhir yang buntu. Tetapi, kenyataan berlawanan dengan itu, karena
berkat pengaruhnya yang luar biasa besar pada massa, kesemua kekurangan itu
bukannya akhir melainkan justru awal dari karier kepemimpinannya, karena pada
saat wafatnya tahun 1976 praktis Mao sudah merombak total seluruh Cina. Salah
satu segi perombakan secara umum adalah modernisasi negeri, khususnya
industrialisasi, peningkatan taraf pendidikan yang luar biasa cepat serta
perbaikan tingkat kesehatan rakyat yang menggemparkan. Perubahan ini betapapun
pentingnya bukan jadi alasan menempatkan Mao dalam kedudukan yang penting
karena negeri lain pun saat itu melakukan hal serupa.
Cina di masa Mao merupakan negara komunis yang agresif
dengan sistem politik yang sangat otoriter. Artinya, kebijakan-kebijakan Cina
banyak lahir dengan Mao sebagai faktor penentunya. Keagresivan Cina terlihat
ketika Cina selalu berusaha mengintervensi kehidupan negara lain di sekitarnya.
Contohnya adalah ketika Cina menganeksasi Mongolia dan
Tibet untuk masuk ke dalam wilayahnya. Penganeksasian ini dapat dimaklumi
sebagai usaha Mao untuk mewujudkan pemikirannya. Mao Tse-tung saat itu membagi
dunia menjadi empat lingkaran, dalam mana pemikiran tersebut didasarkan pada
konsepsi tradisional Cina, berupa:
Lingkaran pertama terdiri dari wilayah Cina, termasuk
Tibet dan Mongolia.
Lingkaran kedua terdiri dari negara-negara di
perbatasannya yang dahulu menjadi tributaries Cina, termasuk Korea dan Vietnam
Utara.
Lingkaran ketiga terdiri dari Jepang, yang telah
mengambil alih budaya Cina sewaktu Dinasti Tang.
Lingkaran keempat terdiri dari sisa dunia lainnya.
Pemikiran Mao banyak bercirikan aspek-aspek ideologis, yang
berarti setiap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Cina selalu mengacu
kepada idelogi komunis yang dianutnya. Cina di masa Mao beroposisi secara
radikal dengan Barat, dalam mana perilaku seperti ini banyak ditentukan oleh
tesis dasar komunis yaitu anti terhadap kapitalisme.
F.
Pemikiran Deng
Xiao-ping
Pemikiran politik yang ditawarkan oleh Deng Xiao-ping
justru bertolak belakang dengan pemikiran Mao. Untuk masalah ideologi, Cina di
masa Deng tetap menganut komunisme, namun dalam sisi praksisnya ideologi
tersebut diterjemahkan secara fleksibel. Variabel utama yang dijadikan
pertimbangan oleh deng dalam menafsirkan ajaran komunis tersebut adalah
kepentingan ekonomi.
Deng dalam memimpin Cina banyak menggunakan aspek-aspek
realis-pragmatis, artinya keputusan banyak disandarkan pada situasi apa yang
tengah berlangsung ketika keputusan tersebut dibuat.
Sejak meninggalnya Mao Tse-tung pada tanggal 9 September
1976, Cina mengalami perubahan-perubahan yang fundamental. Para pemimpin yang
berkuasa di Cina menetapkan program empat modernisasi, yaitu modernisasi di
bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta militer
sebagai landasan strategi baru.
Tetapi pelaksanaan program modernisasi ini mengalami
banyak hambatan, karena infrastruktur ekonomi Cina sudah banyak ketinggalan dan
Cina kini kekurangan tenaga yang terdidik dan terlatih akibat gejolak-gejolak
yang timbul sehubungan dengan program Mao tahun 1958 dan revolusi kebudayaan
tahun 1966-1976. Pembangunan ekonomi dijadikan oleh Deng sebagai kepentingan
nasional Cina yang paling utama dan tampaknya mengatasi ideologi itu sendiri.
Hal ini tampak ketika pada tahun 1985, Deng memberlakukan
Land Reform. Apa artinya? Kebijakan Deng tersebut sangat bertentangan dengan
tesis awal Marxisme-Leninisme bahwa tanah seharusnya dikuasasi seluruhnya oleh
negara. Dengan kata lain, Deng dapat dikatakan sebagai “pengkhianat” atas
ideologi komunis itu sendiri, karena dengan pemberlakuan Land Reform tersebut,
maka kepemilikan tanah dapat diberikan kepada individu-individu.
Sisi realis pragmatis Deng di lain saat terlihat ketika
Cina bersedia membuka pasar pada awal 1990-an untuk kemudian menjadi anggota
WTO. Prinsip-prinsip idelogi perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan oleh Cina
pada periode Deng Xiao-ping ini untuk kemudian digantikan dengan prinsip
berlatarkan kepentingan ekonomi yang berdimensi pragmatis.
G.
Simpulan
Pada dasarnya Negara Cina adalah Negara komunis yang
dalam system pemerintahan dan perekonomiannya menggunakan komunisme. Namun pada
prakteknya, seiring berjalannya waktu dan pergantian kepala pemerintahannya
Kebijakan yang diambil oleh Cina lebih banyak didasarkan pada kepentingan apa
yang diperlukan pada saat itu.
Cina di masa Mao merupakan negara komunis yang agresif
dengan sistem politik yang sangat otoriter. Artinya, kebijakan-kebijakan Cina
banyak lahir dengan Mao sebagai faktor penentunya. Keagresivan Cina terlihat
ketika Cina selalu berusaha mengintervensi kehidupan negara lain di sekitarnya.
Deng dalam memimpin Cina banyak menggunakan aspek-aspek
realis-pragmatis, artinya keputusan banyak disandarkan pada situasi apa yang
tengah berlangsung ketika keputusan tersebut dibuat.
Pemikiran politik yang ditawarkan oleh Deng Xiao-ping
justru bertolak belakang dengan pemikiran Mao. Untuk masalah ideologi, Cina di
masa Deng tetap menganut komunisme, namun dalam sisi praksisnya ideologi
tersebut diterjemahkan secara fleksibel. Variabel utama yang dijadikan
pertimbangan oleh deng dalam menafsirkan ajaran komunis tersebut adalah
kepentingan ekonomi.
Cina di era Mao cenderung mengedepankan unsur-unsur
revolusioner berupa sikap agresif dan cenderung anti barat. Sedangkan di masa
Deng, Cina cenderung akomodatif dan berkooperatif dengan negara sekitarnya. Hal
ini banyak ditentukan oleh persepsi (pemikiran politik) Deng tentang
kepentingan nasional Cina itu sendiri.
Sumber :